SASTRA DAN SENI
MAKALAH
ILMU BUDAYA DASAR
SASTRA ACEH
DOSEN : AULIYA R
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
NAMA : MUHAMMAD FAHMI
KELAS : 1KA01
NPM : 17114190
JURUSAN : SISTEM INFORMASI
FAKULTAS : ILMU KOMPUTER
MATAKULIAH: ILMU BUDAYA DASAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “SASTRA ACEH” . Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Depok, 1 April 2015
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Sastra Aceh telah berkembang
seiring zaman perkembangan peradaban dan sejarah dari abad ke abad, dan baru
dikenal (disalin) pada abad ke 14, namun sastra lisan telah berkembang sejak
Aceh dikenal pada abad ke 9. Jika ditilik perbedaan sejarah sangat jauh jangka
panjang antara lisan dan tulisan. Namun,, belum tentu hal tersebut benar,
mengingat tidak ada satu sejarapun mencatat perjalanan sastra tersebut secara
detail dan rapi, kita hanya dihadapkan pada naskah Manuskrip Sejarah raja-raja
Pasai yang menggambarkan keberadaan Kesultanan Pasai.
Bisa disebutkan bahwa Aceh merupakan daerah
pusat kebudayaan Islam sebab dari negeri ujung Sumatera pada awal menyebarkan
Islam di seluruh Nusantara, termasu didalamnya Malaysia dan Pathani, paling
tidak masih ditemukan di dua negara tersebut karya-karya para ulama-ualam Aceh.
Maka tak pelak, jika bumi Seuramoe Mekkah ini banyak mewariskan beragam corak
sastra Islami. Dari bumi serambi Mekkah juga asal muasal pembaharuan sastra
Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa perubahan terhadap sastra Melayu
Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan genre (cabang ) sastra klasik
(classic literature).
1.2 TUJUAN
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui dan mempelajari
dari segi positif tentang “ SASTRA ACEH” agar kita dapat lebih mendalami
tentang suatu struktur budaya yang sudah
berkembang sejak dahulu. Tujuan disusunya makalah ini ialah agar kita dapat
menjaga dan melestarikan bangsa kita sendiri agar sampai cucu kita dapat
melihat dan menyaksikan bagaimana sebuah budaya terpelihara sampai kapanpun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SASTRA ACEH
Asal Mula Sastra Aceh ( Sastra Aceh Zaman Kerajaan ) Awal
keberadaan sastra di Aceh bisa dilihat sekitar abad ke-13, Pada saat Aceh masih
dalam bentuk kerajaan. Sejak Islam masuk
ke Aceh pada abad pertama Hijriah, kesusastraan Aceh telah memegang peranan
penting dalam menyebarkan dakwah Islam di Nusantara. Hampir semua karya sastra
Aceh ketika itu digunakan untuk kepentingan dakwah Islam. Maka tidak salah jika
dikatakan kebudayaan (kesenian dan sastra) Aceh identik dengan kebudayaan
Islam. Pengaruh ulama di Aceh dulu lebih dominan dalam masyarakat, bahkan para
sastrawan Aceh dulu juga terdiri dari ulama-ulama yang berpengaruh. Ada banyak
karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat, dan sastra tutur. Karya tulisan umumnya
menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu, dan Arab. Sedangkan sastra lisan
umumnya menggunakan bahasa Aceh karena lebih komunikatif saat berkomunikasi
langsung dengan pendengarnya.
Dulu, karya sastra tulisan
lebih sedikit dibandingkan dengan karya sastra tutur. Karya sastra tutur ini
lebih merakyat dan berkembang pesat. Hikayat yang tidak ditulis tetapi
dituturkan secara spontan. Penyebab lain mengapa sastra tulisan lebih sedikit
adalah karena orang Aceh lebih suka bertutur daripada menulis. Juga pada masa
itu, walaupun semua orang bisa membaca tulisan Arab atau Melayu Jawi, hanya
kalangan yang berpendidikan saja yang bisa menulis dalam huruf latin di Aceh.
Ini salah satu penghambat sedikitnya karya berbentuk tulisan di Aceh.
Dari bumi serambi Mekkah juga
asal muasal pembaharuan sastra Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa
perubahan terhadap sastra Melayu Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan
genre (cabang ) sastra klasik (klasik literatur). Ciri-ciri umum karya sastra
klasik adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu: a) bersifat anonim (tidak
memiliki nama pengarang), b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan
dari mulut ke mulut, c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, d)
jika berupa puisi unsur ritma dan sajak lebih dominan.
Adapun mengenai Tradisi Tulisan
Aceh adalah sebagai berikut:
TRADISI TULIS ACEH
Meskipun tidak mungkin menetapkan tanggal mulanya tradisi tulis
Aceh, naskah-naskah yang ada menunjukkan suatu tradisi yang khususnya kaya
dengan syair. Tema-temanya berasal dari sejarah, dari islam, dan dari cerita
rakyat. Syair epik Aceh mencakup beberapa dari karya sastra terbaik Indonesia.
BUKTI TERTUA NASKAH ACEH
Tampaknya tak ada bekas tradisi tulis Aceh pra islam yang masih
ada, meskipun keberadaan aksara india dibagian-bagian lain dari Sumatera, dan
pada bahasa Chamic dari Vietnam yang serumpun menyiratkan bahwa bahasa Aceh
mungkin telah mempunyai bentuk tertulis sebelum kedatangan akasara Arab.
Tanggal tertua yang membuktikan adanya tradisi naskah Aceh adalah tahu 1069 H (
1658-1659 M) tulisan-tulisan pada naskah lain berasal dari paruh kedua abad ke
17 dan awal abad ke 18. Semua naskah awal ini merupakan tulisan keagamaan,
ditulis dengan huruf Arab tradisional.
MENULIS DAN MEMBACA BAHASA ACEH
Kemampuan membaca dan menulis bahasa Aceh dalam huruf tradisional
hanya di dapatkan secara tak langsung. Tahap pertama dimulai waktu kecil,ketika
anak-anak belajar mengaji Qur’an. Tahap berikutnya dalam pembelajaran ilmu baca
tulis secara tradisional dicapai oleh sebagian kecil saja, melibatkan
pembelajaran bahasa Jawoe ( Jawi), yakni bahasa Melayu ditulis dengan huruf
Arab. Ini bahasa yang lazim di pakai untuk prosa tertulis dalam masyarakat Aceh
tradisional. Buku pelajaran keagamaan, serta surat dokumen lain seperti paspor,
undang-undang, kontrak, dan stempel penguasa semua dibuat dalam bahasa jawi,
kini ditulis dalam turunan bahasa Melayu, bahasa Indonesia.
Melalui kemampuan bahasa jawi,
orang Aceh menguasai keterampilan membacakan bahasa Aceh dari naskah tertulis.
Meskipun sistem penulisan Aceh tradisional sangat tidak fonetis, Ia cocok jadi
penutur asli bahasa Aceh yang terlatih dalam huruf Jawi serta dasar-dasar
bahasa arab. Kecenderungannya mengeja banyak kata dalam bahasa melayu asal yang
mudah dikenali atau dalam bentuk asli
bahasa Arab, meskipun pengucapan cara Acehnya cukup berbeda.
Rima dan irama syair Aceh juga
mempermudah pembacaan. Dengan kekecualian yang jarang terjadi, bahasa tulisan
Aceh ada dalam benttuk syair, dengan matra puitis sanjak. Ini bersajak dalam
dua cara, dengan keduanya bersajak di khir dan sajak-sisispan pada baris
terpisah. Pola persajakan akhir mungkin dipinjam dari bahasa Melayu melalui hubungan
yang berabad-abad dengan bahasa itu. Sajak sisipan mengikuti pola yang umum di
Asia Tenggara, dan dirunut ke asal-usul bahasa Aceh di tanah daratan. Pola
dasar sajak sisipan adalah satu suku kata di akhir sepenggal syair bersajak
dengan suku kata di tengah bagian berikutnya dari syair yang sama panjang
penggalannya.
Pada paruh kedua abad ke-20,
penggunaan huruf-huruf Romawi bagi bahasa Aceh telah cukup tersebar luas.
Meskipun ada usaha-usaha dari para sarjana terkemuka di Banda Aceh, mereka tak
berhasil memaksakan ejaan Romawi baku yng disarankan. Ada cukup banyak ragam
perseorangan pada kaidah-kaidah ejaan, dan perbedaan dialek cenderung
mempengaruhi bentuk tulisan dalam sistem-sistem ejaan Romawi.
HIKAYAT
1.
Kebanyakan naskah tulis berbahasa Aceh digambarkan
sebagai hikayat. Istilah ini juga digunakan dalam bahasa Melayu untuk karya
panjang bergaya epik. Penggunaan istilah itu dalam bahasa Aceh dan bahasa
Melayu mirip, yaitu hikayat untuk pertunjukan lisan yang panjang dengan
menggunakan melodi, umumnya tertulis. Bedanya adalah hikayat Melayu berbentuk
prosa. Hikayat Aceh dikelompokkan berdasarkan sifat pokok bahasanya.
2.
Teks penghinaan
Jenis ini membentuk kelompok yang relatif kecil dan langka. Mereka
dikhususkan untuk penghinaan dan cukup singkat.
3.
Syair Cerita Rakyat
Jenis ini membentuk kelompok lain naskah langkah, terdiri atas
bahan yang biasanya disampaikan secara lisan dalam bentuk dongeng-dongeng
rakyat, namun yang diubah menjadi syair oleh pengarang.
4.
Dongeng Kepahlawanan Rakyat
Menceritakan tentang tokoh suci atau berkekuatan gaib dari masa
lalu di Aceh. Yang terkenal adalah Hikayat Malem Diwa. Jenis hikayat ini
tergantung bahan dongeng pra-Islam, banyak yang yang sama dengan daerah lain di
Sumatera.
5.
Epik Perang
Melukiskan pertempuran dan gerakan sejarah. Beberapa cerita
kepahlawanan menguraikan konflik masa pendudukan Belanda, yang lain
menceritakan gerakan pertahanan melawan Jepang, perang saudara, Prang Cumbok,
yang terjadi setelah Perang Dunia II.
6.
Epik yang Lebih Tua
Berhubungan dengan masa lalu Aceh yang lebih awal, membentuk
sekelompok kecil cerita kepahlawanan namun sangat penting artinya. Dua contoh
besar, yakni Hikayat Meuketa Alam, melukiskan peristiwa semasa Iskandar Muda,
dan Hikayat Pocut Muhammad
7.
Cerita Roman
Satu kelompok yang sangat besar dan beragam, mengandung unsur
mitos yang kuat. Beberapa diantaranya belatar Aceh serta mempunyai kandungan
sejarah. Jenis ini boleh disebut roman sejarah, termasuk Hikayat Nun Parisi,
yang berlatar kerajaan bandar tua Pase. Namun, kebanyakan cerit roman berlatar
mitos atau waktu dan tempat, serta tidak memiliki kandungan sejarah sama
sekali. Banyak nama tempat tidak benar-benar ada. Lainnya berlatar seperti
Abyssinia, India, Yaman, Hindustan, Persia, Siam, Syria, Srilanka, kerajaan
Jens dan Cina. Banyak bahan ceritanya dipinjam dari kesustraan lain, termasuk
sejumlah besar dari Persia, melalui bahasa Melayu.
8.
Cerita Kepahlawanan Suci
Sebuah kelompok yang besar dan tidak disukai, khususnya melibatkan
wali-wali Islam dan tokoh-tokoh suci dari masa lalu Islam yang lebih tua
(termasuk masa pra-Islam). Cerita-ceritanya tidak ditempatkan di Aceh,
misalnya, Hikayat Nabi Usah, cerita tentang Jusuf, dan Hikayat Hasan Husen,
berkenaan dengan cerita mati syahidnya cucu-cucu Nabi, Hasan dan Husen.
9.
Dongeng Pribadi
Jenis ini membentuk kelompok yang kecil namun menarik, dan kurang
terwakili dalam koleksi umum disebabkan oleh sifatnya yang agak pribadi. Cerita
yang diterbitkan tentang perjalanan keliling dunia penyair terkenal Abdullah
Arif dalam rangkaian Seumangat Aceh-nya termasuk dalam kelompok ini.
10.
Dongeng Peringatan dan Pengobaran Semangat
Mempunyai kandungan keagamaan yang kuat. Termasuk di dalamnya,
misalnya, Teungku Tiro’s Lessons on the Holy War (Ajaran Teungku Tiro tentang
Perang Suci) serta Hikayat Prang Sabi, yang mendorong pendengar untuk ambil
bagian dalam perang Suci. Dongeng-dongeng peringatan singkat telah memberi
bahan bagi penerbitan syair selama 30 tahunan terakhir ini.
A. JENIS SASTRA ACEH
Menurut Razali Cut Lani dalam karyanya berjudul Kesusastraan Aceh,
dikenal beberapa jenis sastra klasik yaitu: Narit Maja (peribahasa), Neurajah
(mantra), Hiem (teka-teki), dan Panton (pantun). Semua genre sastra tersebut
merupakan jenis sastra tertua dan purba dalam sejarah perkembangan sastra Aceh.
1. Narit Maja (Peribahasa)
Tradisi masyarakat Aceh Narit Maja berfungsi sebagai pengendalian
pranata sosial (control sosial) dan sebagai sarana penyampaian pesan moral.
Narit Maja juga mengandung
nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti terdapat dalam narit maja berikut: Hana
patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila. Terjemahan bebasnya
adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau tidak tentu gila. Demikianlah
peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Untuk lebih jelas mengenai
nilai-nilai yang terkandung dalam narit maja, ada beberapa contoh berikut:
Misalnya terdapat dalam Narit Maja dalam
bidang berdagang, seperti berikut:
Tulak tong tinggai tem. Arti
bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng. Peribahasa ini mengandung pengertian
bahwa dalam usaha dagang–jual beli–setelah diperkirakan laba rugi dalam hal ini
tidak ada yang diuntungkan, tetapi hanya mencukupi modal saja.
Misalnya terdapat dalam Narit
Maja dalam bidang kriminalitas, seperti berikut:
gop pajoh boh panah/ tanyo yang
meugeutah. Terjemahan bebasnya: orang yang makan nangka, kita yang bergetah.
Orang lain yang berbuat salah kita yang mendapat efek dari kriminalitas
tersebut.
2. Neurajah (Mantra)
Neurajah merupakan jenis sastra tertua setelah Narit Maja. Jika
ada orang yang bertanya siapakah pemilik puisi jenis mantra ini? Maka
jawabannya adalah pawanglah yang menjadi penyair genre mantra, karena pada
mulanya pawang mengucapkan mantra-mantra untuk menjinakkan harimau, gajah,
tawon, dan lain-lain.
3. Hiem (Teka – Teki)
Masyarakat Aceh dalam keseharian sering kumpul bersama sanak
keluarga dan kerabat untuk berteka – teki sejenak. Teka – teki dalam masyarakat
Aceh selain sebagai hiburan juga menjadi arena asah otak, karena dalam teka –
teki juga mengandung unsur pendidikan. Walaupun unsur humor lebih dominan.
4.Panton (Pantun)
Bagian terakhir dari sastra klassik Aceh adalah pantun. Puisi
empat baris yang terdiri atas sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut
sampiran. Baris ke empat dan lima namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia
memiliki ciri-ciri sama. Bersajak ab, ab. Sama halnya dengan narit maja,
neurajah, dan hiem yang sebenarnya juga terdapat dalam konteks ke-Indonesia-an
sastra. Ini ada salah satu contoh pantun dalam corak sastra ke-Aceh-an. Pantun
perjuangan untuk meraih dan menaklukkan hati wanita idaman.
Contoh pantun:
limong limong kapai jitamong
dua go limong kapai jibungka/
nyo hantrok lon cot ngon
reunong
nyan bungong lon pupo geulawa
Arti bebas pantun tersebut
adalah lima lima kapal masuk, dua kali lima kapal berangkat, kalau tak bisa
saya ambil pakai galah, ini bunga akan saya lempar supaya jatuh kepelukan
saya. Dari segi umur pemakai terdapat bermacam
jenis pantun seperti pantun anak-anak, pantun remaja, dan pantun dewasa. Berdasarkan manfaat dan kondisi pemakaian
dikenal pantun nasehat, pantun jenaka, dan pantun kawla muda.
Cae’ atau syair adalah salah
satu contoh dari prosa lama.
5.Cae’ atau syair adalah jenis
prosa liris.
Sementara itu dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan
prosa liris (hikayat), legenda, fabel, haba jameun (cerita rakyat/kabar zaman).
a.
Hikayat adalah jenis prosa lama walaupun ada
juga pakar sastra yang menyatakan bahwa hikayat itu jenis puisi liris,karena
tipografinya seperti syair dan bersajak. Jika dilihat dari unsur intrinsiknya
hikayat lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam hikayat lebih dominan
ditunjang oleh setting (latar), tokoh, watak (karakter), konfliks dll. Umumnya
hikayat bersifat istanasentris, dan cerita raja-raja. Namun ciri utama hikayat
adalah anonim (tidak memiliki nama pengarang) seperti umumnya sastra lama
lainnya. Ada juga beberapa hikayat yang memiliki nama pengarang seperti hikayat
Perang Sabil karya Teungku Syiek Pantee Kulu. Di Aceh sarat akan hikayat
warisan indatu misalnya : hikayat Raja-Raja Pasai, dan hikayat Malem Diwa.
b.
Legenda adalah jenis cerita turun temurun
bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal nama daerah, asal mula sebuah
pulau dan sebagainya). Contoh: Legenda
Ahmad Rhangmanyang yang menjadi Pulau Batu di Aceh Besar atau legenda Raja
Bakoi (di Aceh Utara), puteri Pukes, Loyang Koro, Pengantin Atu Belah (di
dataran Tinggi Gayo, Takengon), dan legenda Tapak Tuan (di Aceh Selatan).
c.
Fabel
adalah cerita yang ditokohkan oleh binatang. Jikapun melibatkan tokoh manusia,
namun tokoh binatang dalam cerita fabel lebih dominan. Binatang menjadi aktor
utama walaupun tanpa disutradarai oleh manusia cerita tetap berjalan sukses
demikianlah sebuah fabel dikisahkan. Contoh fabel yang terkenal adalah Sang
Kancil dan Harimau, Lutung Kasarung, dan Kera Sakti.
d.
Haba Jameun (cerita rakyat) adalah kabar zaman
yang diriwatkan dari mulut ke mulut. Secara turun temurun. Jika ada cerita
rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik penghimpun.
Melainkan milik semua masyarakat di mana cerita rakyat tersebut berkembang.
Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau
editor buku tersebut. Seperti kumpulan Kabar Zaman Dari Aceh karya LK. Ara.
Cerita rakyat yang terkumpul dalam buku tersebut adalah milik masyarakat Aceh.
Tetapi LK.Ara sangat berjasa dengan menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam
Bahasa Indonesia. Haba jameun biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti
berikut ini: bak jameun dile, na sibak bak jambe di leun. Trep nibak trep broek
rumoh tinggai sudep… na saboh kisah, yang artinya: pada zaman dahulu ada
sebatang pohon jambu di depan rumah. Lama kelamaan rusak rumah tinggal
panggang… ada sebuah kisah. Contoh haba jameun : Abu Nawas dan Aneuk Yatim.
B. Beberapa Sastrawan Aceh pada Zaman
Kerajaan Aceh
Para sastrawan Aceh memiliki kekuatan dan karakter tersendiri.
Misalnya, Hamzah Fanshuri (1575-1625). Seorang penyair sufi yang karya-karyanya
jauh melampaui zamannya, sehingga dianggap sesat oleh mereka-mereka yang
menafsirkannya secara berbeda. Sehingga banyak karya-karyanya yang dibakar atas
perintah Nurrudin Arraniry, pemuka agama pada masa itu. Salah satu kitab yang
ditulisnya "Syarab al-asyiqin" atau "Minuman segala orang yang berahi"
Tgk Syekh Abdurrauf al Singkili atau lebih dikenal dengan Tgk Syiah Kuala (yang
namanya kemudian dijadikan nama universitas negeri di Aceh) juga banyak
menuliskan kitab-kitab pendidikan dan agama yang berisikan syair-syair
ma’rifat.Tgk Chik Pante Kulu, juga seorang ulama besar. Dia menuliskan Hikayat
Prang Sabil. Hikayat ini cukup dikenal dan merakyat dalam bentuk tutur.
Kekuatan kata-katanya mampu menggerakkan orang Aceh untuk mati syahid melawan
kaphe Belanda.
Tgk. Mansoer Leupueng, dan beberapa sastrawan lainnya. Mereka
termasuk angkatan yang telah banyak berbuat dalam menyelamatkan kesusastraan
Aceh di saat-saat mengalami kemunduran. Terutama sekali Tgk.Mansoer Leupueng,
ia banyak sekali menulis buku-buku cerita dalam bahasa Aceh, baik dalam bentuk prosa
maupun dalam bentuk sajak Aceh. Salah satu karyanya yang populer ketika itu
adalah novel Sanggamara (menolak bahaya). Novel ini ditulis Tgk.
Mansoer untuk mengembalikan
jiwa sastra pada pemuda-pemuda Aceh yang saat itu dirasakan hampir lenyap,
seperti dalam bait berikut: //Tameututo ngen bahsa droe/ Bahsa nanggroe nyang
biasa/ Bahasa laen pih tapakoe/Beuhat rugoe bak beurkata//
Para sastrawan legendaris ini
semuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa
bahasa. Mereka juga berasal dari kalangan keluarga yang berpendidikan dan
semuanya laki-laki. Pada masa ini, tidak ditemukan karya sastra yang ditulis
perempuan (kalaupun ada, belum terekspos).
C. Sastra Aceh Zaman
Kemerdekaan
Dua abad terlampaui, sastra Aceh terus berkembang dan hikayat
terus lahir di mana-mana. Bentuk sastra modern yang berasal dari barat juga
mulai menampakkan pengaruhnya dalam karya sastra di Aceh. Banyak sastrawan yang
melahirkan karya tulisan. Lebih banyak dari abad sebelumnya. Namun tidak ada
satu pun karya yang mendunia yang lahir pada saat zaman kemerdekaan. Ada
beberapa sastrawan yang cukup dikenal di nusantara (Indonesia dan dunia
melayu). Salah satu yang paling menonjol dan banyak berkarya dan berperan dalam
membangkitkan sastra dan pendidikan di Aceh adalah A Hasjmy.
Puisi "Menyesal"
karyanya masih dihafal dengan baik oleh anak-anak sekolah sampai ke pelosok
Aceh. Dia tidak hanya berkarya, namun juga sangat aktif dalam mengumpulkan
karya-karya sastra dan budaya yang ada di Aceh. Dia menulis buku "Aceh
dalam Sejarah" dan mendirikan museum A Hasjmy. Apa yang dikumpulkannya
sangat membantu bahan kajian sastra dan budaya yang dilakukan oleh para
peneliti.
Para sastrawan Aceh yang
menonjol pada zaman kemerdekaan antara lain TA Talsya, A Rivai Nasution, Agam
Wispi, T. Iskandar, Tgk Adnan PMTOH, Mak Lapee dan lain-lain. Dua nama yang
terakhir Tgk. Adnan PMTOH dan Mak Lapee adalah tokoh teater tutur. Tgk Adnan
PMTOH, sang troubadour, menggabungkan kemampuannya berhikayat, monolog, musik dan
teater. Ketika ia bertutur, orang sanggup duduk sampai pagi mendengarkan
kisahnya. Cerita yang paling sering disajikannya adalah Hikayat Malem Dagang.
Angkatan saat ini cukup banyak.
Karya yang dihasilkan tidak hanya sebatas hikayat dan syair, tetapi juga sudah
mulai lahir novel, puisi modern, dan essai. Hanya saja pada masa ini, publikasi
sangat lemah, sehingga karya-karya yang ada, walaupun banyak yang bagus, namun
tidak dikenal luas. Angkatan setelah ini
yang banyak berkarya dan dikenal, antara lain: Hasyim KS, Ibrahim Kadir, Nurdin
AR, LK Ara, Maskirbi, Tjoet Sofyan, Syamsul Kahar, Barlian AW, Rosni Idham dan
lain-lain. Karya-karya mereka juga sudah mulai dikenal di luar Aceh.
D. Sastra Aceh pasca Tsunami dan Sekarang
Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 tidak hanya menghancurkan
Aceh, namun juga membawa pergi sejumlah besar aset budaya dan seniman di Aceh.
Maskirbi, M Nurgani Asyik, Virsevenny, Siti Aisyah dan beberapa nama lain ikut
hilang bersama ombak.Begitu juga Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh (PDIA)
yang menyimpan dokumen-dokumen sastra dan budaya, Kantor DKA dan LAKA ikut
lenyap dibawa tsunami. Aceh dan Indonesia kehilangan banyak.
Namun, bencana ini juga membawa
perubahan besar bagi perkembangan sastra di Aceh. Orang-orang mulai melirik dan
ingin tahu lebih banyak tentang karya-karya sastra di Aceh. Apalagi setelah
banyak dari karya-karya tersebut dipublikasikan. Penerbit lokal pun mulai
bermunculan. Kehausan para penulis Aceh untuk menerbitkan karyanya, akhirnya
terobati juga.
Penyair, budayawan dan
sastrawan muda pun mulai bermunculan. Mereka punya gaya lebih berani dan bebas
serta usianya berkisar antara 17-30 tahun. Keberadaannya juga dikenal sampai
tingkat dunia. Ada Azhari, Reza, Fauzan, Salman Yoga, Cut Januarita. Sebenarnya
mereka sudah mulai berkarya di awal tahun 2000-an.
Mereka tidak hanya berkarya,
tetapi juga menerbitkan karya-karya sastra lokal dalam bentuk buku dan
memotivasi calon-calon penulis muda dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dan
aneka lomba.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sastra dan Budaya yang terdapat di Indonesia sangatlah banyak, bahkan banyak
pula yang tidak kita ketahui bagaimana bentuk dan rupa dari bermacam sastra di
Indonesia. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki jumlah suku
terbanyak didunia bisa dibayangkan satu pulau yang terdapat di Indonesia bahkan
bisa di tempati oleh bermacam suku. Dan Indonesia terdapat ribuan pulau yang
terbentang dari sabang sampai merauke. Salah satu sastra peninggalan nenek
moyang yang masih terpelihara ialah Sastra Aceh. Aceh merupakan bangsa
Indonesia kita harus tau bagaimana sastra, seni , dan budaya berkembang di aceh
dari dahulu kala. Bagaimana orang orang jaman dahulu masih mempertahkan culture
atau budaya mereka agar tetap terpelihara sampai saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar